Semarak pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah (Pemilukada), hampir terasa di sejumlah kabupaten/kota di Tanah
Papua. Dari kabupaten induk hingga kabupaten pemekaran, ada yang telah
dan sedang dalam tahapan menuju pelaksanaan event lima tahunan ini.
Kondisi ini ditandai dengan ramainya baliho, spanduk dan poster yang
terpajang di tempat-tempat umum. Tujuannya tidak lain, mensosialisasikan
wajah dan visi-misi para calon pemimpin yang akan bertarung meraih
mandat rakyat secara langsung.
Lagi-lagi, semarak pemilukada seakan menyita perhatian rakyat asli
Papua yang kini mulai ‘malas tau’ atau anti pati dengan keberadaan
Otonomi Khusus. Situasi ini belakangan cukup beralasan. Sebab ditengah
kesemrawutan (ketidak jelasan) pelaksanaan Otsus, perhatian rakyat asli
Papua justru tertuju pada pemilukada. Ini terjadi karena ada wacana
bombastis yang digembar-gemborkan bahwa lewat pemilukada akan muncul
pemimpin yang bisa memperhatikan kesejahteraan rakyat. Praktis, wacana
ini lalu menjadi ’pemanis’ yang menggaet perhatian rakyat Papua di kota
hingga kampung-kampung terpencil.
Konon, masyarakat kampung yang
tadinya hanya sibuk mengurus kebun, menokok sagu, berburu dan melaut,
kini secara sukarela meninggalkan aktivitas itu selama berhari-hari
karena ikut dimobilisasi dalam kampanye. Situasi ini terlihat dari
rentetan pemilukada di beberapa kabupaten seperti, Yahukimo, Supiori,
Asmat, Yalimo, Lani Jaya, Manokwari, Maybrat, Tambrauw, dan lain-lain.
Momentum pemilukada juga membuat masyarakat gelisah. Berharap melihat
calon pemimpin pujaannya segera memenangkan pertarungan dan menduduki
kursi kepala daerah (berkuasa).
Bukan hanya itu, pilkada juga
membuat sesama keluarga dekat (inti) yang hidup serumah atau sekampung
malahan ikut-ikutan bersitegang (bertengkar) lantaran memiliki calon
pujaan yang berbeda. Sampai-sampai masyarakat yang tidak tahu-menahu
soal politik seperti keburu mimpi indah bahwa lewat pemilukada realitas
hidup mereka yang tadinya susah akan berubah drastis menjadi lebih baik.
Situasi demikian tentu berbeda dengan masyarakat asli Papua yang
bermukim di kota. Mereka yang memiliki tingkat ekonomi dan pendidikan
politik yang jauh lebih maju dari masyarakat di kampung, sebaliknya
tidak begitu antusias dengan momentum pemilukada.
Ada yang bahkan tidak mau menggunakan hak pilihnya, alias memilih golongan putih (golput). Ini terjadi karena munculnya kesadaran kritis dalam memandang event lima tahunan ini lebih sebagai sinetron demokrasi. Artinya, meskipun diulang tiap lima tahun sekali, toh pemimpin yang terpilih tetap begitu-begitu saja. Sikap itu pun tak bedanya dengan masyarakat migran (non Papua) yang selama ini masih apatis dengan perhelatan pemilukada di Tanah Papua. Tak jarang muncul pemikiran seperti ini, “untuk apa ikut-ikutan pemilukada kalau hasilnya nanti tidak mengakomodir kepentingan kita.”
Ada yang bahkan tidak mau menggunakan hak pilihnya, alias memilih golongan putih (golput). Ini terjadi karena munculnya kesadaran kritis dalam memandang event lima tahunan ini lebih sebagai sinetron demokrasi. Artinya, meskipun diulang tiap lima tahun sekali, toh pemimpin yang terpilih tetap begitu-begitu saja. Sikap itu pun tak bedanya dengan masyarakat migran (non Papua) yang selama ini masih apatis dengan perhelatan pemilukada di Tanah Papua. Tak jarang muncul pemikiran seperti ini, “untuk apa ikut-ikutan pemilukada kalau hasilnya nanti tidak mengakomodir kepentingan kita.”
Meskipun sudah lama menetap di
Papua, masih tetap ada masyarakat migran yang menganggap event
pemilukada dilakukan hanya bagi orang asli Papua. Kalau pun mereka ikut
dalam pemilukada, ini hanya sebatas formalitas karena bukan lahir dari
suatu kesadaran politik berdemokrasi. Tragisnya, perhelatan pemilukada
di Tanah Papua sejauh ini tidak pernah sepi dari berbagai polemik. Di
beberapa wilayah konflik pun pecah hingga terjadi berulang-ulang. Satu
peristiwa yang masih segar di ingatan kita adalah bentrok warga di Kab.
Puncak, akhir Juli 2011 lalu. Akibatnya 19 orang meninggal dari kedua
kubu pendukung Elvis Tabuni-Heri Dosinay dan Simon Alom-Yosian Tenbak.
Peristiwa ini sempat mendapat pemberitaan media massa di Indonesia maupun media internasional seperti BBC, VOA, Radio Netherland dan Radio Autralia. Bentrok di Kab. Puncak bermula dari adanya dukungan ganda DPC Partai Gerindra kepada dua calon kandidat yang berbeda. Dualisme dukungan ini membawa ketegangan diantara kedua calon hingga ikut menyulut ketegangan diantara kedua kubu pendukung calon. Hasilnya, bentrok tak bisa dicegah hingga pecah di hari pertama Sabtu (30/7) dan Minggu (31/7). Padahal KPUD setempat belum melakukan verifikasi berkas para calon kandidat untuk menyatakan mana yang lolos verifikasi dan mana yang tidak.
Dampak dari konflik ini sempat membuat situasi di wilayah ini mencekam selama beberapa minggu sehingga membutuhkan campur tangan aparat keamanan. Selanjutnya di awal September 2011, konflik di wilayah yang sama kembali terulang dengan melibatkan warga masyarakat. Meskipun tidak ada korban jiwa dalam insiden ini, beberapa orang yang terprovokasi hasutan telah melakukan tindakan anarkis dengan merusak dan membakar sejumlah bangunan. Selain konflik pemilukada di Kab. Puncak, sebelumnya juga diberitakan media bahwa konflik pemilukada pun pernah terjadi di beberapa wilayah.
Misalnya, kisruh berbuntut
pembakaran kantor KPUD Yahukimo, kisruh pemilukada Lanny Jaya, kasus
pembacokan ketua KPUD dan pembakaran kantor KPUD Maybrat, atau kisruh
terkait proses pencalonan pada pemilukada Kab. Tambrauw (Prov. Irian
Jaya Barat). Belum lagi jika disinggung satu per satu mengenai perkara
sengketa para calon yang bertarung dalam pemilukada dengan KPUD sebagai
institusi penyelenggara pemilihan. Sengketa semacam ini umumnya berakhir
di Mahkamah Konstitusi (MK) RI Jakarta. Sebut saja polemik seputar
pemilukada Kota Jayapura yang berujung penggantian ketua KPU dan ketua
Panwaslu Kota Jayapura lantaran terlibat tindak pidana pemilukada, serta
pelaksanaan pemilihan harus berlangsung 2 kali putaran.
Padahal sebagai ibukota Provinsi
Papua, lewat penyelenggaraan pemilihan yang baik akan memberi
pembelajaran politik bagi kabupaten lain yang hendak melangsungkan
pemilukada. Kota Jayapura juga mestinya bisa mempelopori kemajuan
berdemokrasi dan berpolitik di Tanah Papua. Sebab disinilah pusat
pembangunan dan gudangnya kalangan cendekiawan Papua. Mulai dari para
politisi dan fungsionaris partai yang terpelajar, kaum agamis, media
massa, hingga aktivis (LSM/perorangan) yang kritis semuanya berbasis
disini. Hanya saja, dalam pelaksanaan pemilukada ternyata bertolak
belakang dengan keunggulan Kota Jayapura sebagai pusat kemajuan.
Ada kesan bahwa sejumlah kalangan seperti disebutkan itu kurang memberi sumbangsih nyata terhadap kemajuan berdemokrasi bagi masyarakat di Kota Jayapura. Lebih-lebih pendidikan politik bagi masyarakat pinggiran (marginal) yang hidup dari hasil berkebun, membabat hutan, memecah batu, berjualan pinang, dan lain-lain. Pengalaman membuktikan bahwa kelompok-kelompok marginal, kaum miskin kota dan kaum yang kurang beruntung dalam indikator kemajuan (modern) inilah yang sering menjadi sasaran garapan partai dan elit politik. Kelompok ini memang mudah ditaklukan lewat cara bagi-bagi duit (uang), bagi sembako/beras hingga kegiatan pengobatan gratis yang dibuat secara insidentil oleh partai atau tim sukses calon menjelang pemilukada/pemilu.
Ada kesan bahwa sejumlah kalangan seperti disebutkan itu kurang memberi sumbangsih nyata terhadap kemajuan berdemokrasi bagi masyarakat di Kota Jayapura. Lebih-lebih pendidikan politik bagi masyarakat pinggiran (marginal) yang hidup dari hasil berkebun, membabat hutan, memecah batu, berjualan pinang, dan lain-lain. Pengalaman membuktikan bahwa kelompok-kelompok marginal, kaum miskin kota dan kaum yang kurang beruntung dalam indikator kemajuan (modern) inilah yang sering menjadi sasaran garapan partai dan elit politik. Kelompok ini memang mudah ditaklukan lewat cara bagi-bagi duit (uang), bagi sembako/beras hingga kegiatan pengobatan gratis yang dibuat secara insidentil oleh partai atau tim sukses calon menjelang pemilukada/pemilu.
Nah, konflik berupa bentrok massa
yang terkait dengan pemilukada seperti diuraikan sebelumnya memang tidak
terlepas juga dari realitas politik ‘buang umpan’ semacam itu. Disisi
lain, konflik itu nyata-nyata telah mencoreng esensi dari semangat
berdemokrasi itu sendiri. Dengan begitu ini memunculkan kesan bahwa
jangan-jangan pemberlakuan demokrasi ala barat (Eropa dan AS) berwujud
pemilukada (pemilu) bisa jadi bertolak belakang dengan realitas
perkembangan orang Papua hari ini. Seperti kata Romo Magnis Suseno,
demokrasi model ini hanya bisa berjalan efektif jika diterapkan di
negara-negara kapitalis yang tingkat kesejahteraan mayoritas rakyatnya
sudah mumpuni.
Disamping tingkat kesadaran
dan pendidikan politik rakyatnya juga sudah mapan. Sebab hal ini akan
membentuk rakyat pemilih yang rasional (cerdas) dalam memilih pemimpin
atau wakilnya di parlemen ketika berlangsung pemilihan. Jadi dalam hal
ini rakyat bukan lagi memilih pemimpin atas dasar dorongan
primordialisme kesukuan (klen, marga, hubungan emosional) sempit,
seperti yang masih kental terjadi di Tanah Papua. Atau karena politik
bagi uang (money politik), pembagian sembako dan beras murah jelang
pemilukada atau pemilu. Akibatnya situasi ini membentuk para pemilih
yang tidak rasional dan hanya terlena pada situasi (pragmatis) dalam
menentukan pemimpin.
Belum lagi jika tingkat kesadaran dan pendidikan politik yang rendah, membuat para elit dan fungsionaris partai mudah memobilisai rakyat untuk tujuan politiknya. Pantas saja, dalam situasi semacam ini massa pendukung calon berbeda yang tidak mengerti politik dan demokrasi sering terprovokasi hingga bentrok. Padahal dalam etika politik, baik elit dan parpol wajib memberi penyadaran dan pendidikan politik bagi rakyat agar menjadi pemilih yang cerdas. Bukan sebaliknya menjadi pemilih yang tidak rasional, ikut-ikutan dan pragmatis. Bisa dimengerti, mengapa demokrasi yang seharusnya tercermin dari pemilukada, sejauh ini hanya dimaknai dalam pengertian sempit?
Belum lagi jika tingkat kesadaran dan pendidikan politik yang rendah, membuat para elit dan fungsionaris partai mudah memobilisai rakyat untuk tujuan politiknya. Pantas saja, dalam situasi semacam ini massa pendukung calon berbeda yang tidak mengerti politik dan demokrasi sering terprovokasi hingga bentrok. Padahal dalam etika politik, baik elit dan parpol wajib memberi penyadaran dan pendidikan politik bagi rakyat agar menjadi pemilih yang cerdas. Bukan sebaliknya menjadi pemilih yang tidak rasional, ikut-ikutan dan pragmatis. Bisa dimengerti, mengapa demokrasi yang seharusnya tercermin dari pemilukada, sejauh ini hanya dimaknai dalam pengertian sempit?
Tentu ini lebih disebabkan oleh
demokrasi bercorak primordialisme sempit, yang oleh para elit lokal
Papua sering dimanfaatkan sebagai jalan mencari kekuasaa. Lalu ketika
berkuasa, ada peluang untuk memperkaya diri dan kelompok dengan jalan
menumpuk materi sebanyak-banyaknya. Demokrasi yang secara sederhana
dipahami sebagai “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat,” dalam
prakteknya telah bergeser menjadi “dari rakyat, oleh rakyat tapi untuk
satu dan sekelompok orang.” Ini persis terlihat ketika semua energi yang
dikorbankan rakyat hampir terlupakan begitu saja oleh elit-elit politik
pembual dan partai politik yang tak tahu berbalas budi.
Padahal disaat-saat kampanye, kaum buruh, petani, nelayan dan kaum
miskin kota yang ikut termobilisasi harus rela menahan haus bercampur
lapar ditengah terpaan terik matahari. Ini demi mendengar retorika
muluk-muluk dari sang calon yang telah menjual tampang di tempat umum
via baliho dan pamflet. Toh hasilnya rakyat tetap saja menjadi tumbal
bagi para elit petualang politik untuk memenuhi hasrat kekuasaan.
Sembari tetap tidak peduli kalau rakyat pendukungnya sejak awal telah
berkutat mati-matian hanya untuk membela sang calon pujaannya.
Ketika sudah menjadi pemimpin, namun karena dianggap tidak becus memimpin, rakyat pun tak berdaya menurunkan pemimpinya. Sebab memang tidak ada mekanisme untuk itu. Lagi pula dalam sistem politik Indonesia, tidak ada aturan hukum yang memungkinkan dibuatnya semacam “kontrak politik” antara rakyat dan elit politik yang mau memimpin. Ini agar rakyat secara langsung bisa menurunkan (memecat) pemimpin yang dinilai tidak beres melalui mosi tidak percaya dalam suatu aksi massa. Tapi itu mustahil, karena demokrasi berwujud pemilukada mungkian akan tetap menguras energi rakyat.
Ketika sudah menjadi pemimpin, namun karena dianggap tidak becus memimpin, rakyat pun tak berdaya menurunkan pemimpinya. Sebab memang tidak ada mekanisme untuk itu. Lagi pula dalam sistem politik Indonesia, tidak ada aturan hukum yang memungkinkan dibuatnya semacam “kontrak politik” antara rakyat dan elit politik yang mau memimpin. Ini agar rakyat secara langsung bisa menurunkan (memecat) pemimpin yang dinilai tidak beres melalui mosi tidak percaya dalam suatu aksi massa. Tapi itu mustahil, karena demokrasi berwujud pemilukada mungkian akan tetap menguras energi rakyat.
COMMENTS