Sebenarnya, persoalan Papua bukan sebatas pada apa yang disebutkan
tadi. Rakyat Papua hidup dalam kompleksitas persoalan. Misalnya
permasalahan sejarah pengintegrasian Papua ke dalam wilayah Indonesia
melalui PEPERA 1969 yang dinilai oleh rakyat Papua cacat hukum dan moral
serta tidak demokratis. Sementara peristiwa tahun 1969 itu dinilai
Pemerintah Indonesia sudah sah dan final karena PBB sudah mengakui Papua
merupakan bagian dari wilayah Indonesia.
Persoalan Papua memang semakin hari semakin kusut dan suram seperti
tebing terjal yang sulit terjembatani. Ada paradoksal antara realitas
dan pernyataan melalui pidato-pidato. Pemerintah Indonesia mengatakan
masalah Papua adalah persoalan kesejahteraan, dan Papua hanya persoalan
internal Indonesia. Sementara dipihak rakyat Papua, masalah Papua
adalah status politik, sejarah pengintegrasian, pelanggaran HAM,
kejahatan terhadap kemanusiaan yang berdimensi internasional dan
kegagalan pembangunan selama 50 tahun.
Pdt. Socratez Sofyan Yoman (Jubi/Eveerth) |
Untuk mengakomodasi dan memotret persoalan Papua yang lebih adil
dan berimbang sesuai dengan realitas diperlukan peran media asing.
Kehadiran wartawan asing di Papua juga memberikan dukungan, kemuliaan
dan penguatan pada pemerintah Indonesia atas kemajuan-kemajuan yang
diraih selama 50 tahun. Pada saat wartawan asing tidak diberikan ijin
masuk wilayah Papua, menjadi pertanyaan besar bagi rakyat Indonesia dan
juga masyarakat internasional. Apa yang disembunyikan pemerintah
Indonesia di Papua? Apa yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap
orang asli Papua?
Pemerintah Indonesia akan mengatakan dengan jawaban-jawaban melalui
berbagai saluran dan kesempatan bahwa Papua dibangun dan dimajukan.
Salah satunya adalah melalui pernyataan-pernyataan Presiden Republik
Indonesia, H.Dr. Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato Kenegaraan setiap
tanggal 16 Agustus pada peringatan 17 Agustus 1945.
Presiden SBY dengan konsisten dan terus menerus mendemonstrasikan
penyelesaian persoalan Papua dengan pidato-pidatonya. Walupun dalam
pidato itu hanya satu dan dua paragrap, namun pesan-pesan moral,
politik adalah tegas dan multi tafsir yang paradoksal.
Pidato SBY pada 16 Agustus 2008 adalah“Kebijakan pemerintah yang
bersifat persuasif, proaktif, dan berimbang, ternyata mampu meyakinkan
berbagai pihak, bahwa kekerasan, ternyata mampu meyakinkan berbagai
pihak, bahwa kekerasan , bukanlah solusiterbaikuntukmenyelesaikan
masalah”.
Pidato 16 Agustus 2010 dinyatakan: Dalam sepuluh tahun pertama, kita
juga telah menyelesaikan konflik di Aceh, dan melakukan reformasi
politik di Papua. Pemerintah dengan seksama terus mempelajari dinamika
yang ada di Papua, dan akan terus menjalin komunikasi yang konstruktif
dalam pembangunan Papua yang lebih baik. Kita juga terus membangun
perdamaian yang berkelanjutan di daerah-daerah pasca-konflik.
Pemerintah dengan seksama terus mempelajari dinamika yang ada di
Papua, dan akan terus menjalin komunikasi yang konstruktif dalam
pembangunan Papua yang lebih baik.
Pidato SBY pada 16 Agustus 2011 adalah Pemerintah terus
meningkatkan dana yang ditransfer ke daerah, baik melalui kerangka Dana
Perimbangan, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Penyesuaian, maupun melalui
kerangka Dana Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan yang disalurkan oleh
Kementerian dan Lembaga terkait. Kita juga terus memperkuat konsolidasi
otonomi khusus, seraya terus memperbaiki strategi dan manajemen
pembangunannya, baik di Provinsi Papua, Papua Barat, maupun Aceh. Dan
Menata Papua dengan hati, adalah kunci dari semua langkah untuk
menyukseskan pembangunan Papua.
Pidato SBY pada 16 Agustus 2012 dinyatakan:Pemerintah memberlakukan
desentralisasi asimetris di Yogyakarta, Aceh, Papua, dan Papua Barat.
Desentralisasi yang tengah berjalan, sesungguhnya tidak mengalami
perubahan prinsip. Yang dilakukan oleh pemerintah, hanyalah pengaturan
ulang agar lebih baik dan efektif bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Saudara-saudara kita di tanah Papua, senantiasa berada di hati kita
semua. Pemerintah menyadari adanya kompleksitas persoalan yang
memerlukan langkah-langkah spesifik, mendasar, dan menyeluruh. Kita
satukan langkah untuk mempercepat pembangunan bagi rakyat Papua. Oleh
karena itu, Otonomi Khusus bagi Papua dan Papua Barat adalah kerangka
dasar kita dalam mengelola pelayanan publik, pembangunan, dan
pemerintahan daerah. Pemerintah telah menerapkan pendekatan yang
terintegrasi untuk mempercepat pembangunan di tanah Papua. Membangun
tanah Papua dalam bingkai NKRI, menjadi tugas kolektif semua anak
bangsa.
Untuk itulah pemerintah telah mengambil inisiatif mempercepat
pembangunan di tanah Papua, dengan agenda dan dukungan anggaran yang
diperlukan. Untuk memastikan bahwa pembangunan di Papua dan Papua Barat
berjalan sesuai rencana dan kebijakan, baik oleh pemerintah pusat
maupun daerah, pemerintah membentuk UP4B (Unit Percepatan Pembangunan
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat), dengan tugas untuk memastikan
terjadinya sinergi, sinkronisasi dan koordinasi semua pelaku
pembangunan. Dengan cara itulah, secara sistematis kita dapat
mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua dan
Papua Barat.
Pidato 2013 pada 16 Agustus 2013 ditegaskan: Di Papua, kita terus
mengutamakan pendekatan kesejahteraan dan percepatan pembangunan di
Provinsi itu. Penegakan hukum dan keamanan dilakukan dengan tetap
memberikan penghormatan pada Hak-hak Asasi Manusia, dan kekhususan
budaya masyarakat Papua. Pemerintah Pusat terus meningkatkan besaran
anggaran untuk mempercepat dan memperluas pembangunan di Papua. Saat
ini, berbagai program pembangunan infrastruktur tengah berlangsung
secara intensif di berbagai wilayah Papua. Kita juga sedang merancang
suatu formula Otonomi Khusus, yang mampu memberikan nilai tambah dan
terobosan baru bagi terwujudnya kemajuan dan kemuliaan Papua.
Membaca dari isi pidato Presiden Republik Indonesia dalam menyakapi
untuk penyelesaian persoalan Papua, patut diapresiasi karena ada
pesan-pesan moral dan nilai-nilai kemanusiaan yang menyentuh di hati
para pendengar dan pembaca pidato dari H. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono.
Walaupun pidato-pidato SBY sepertinya meyakinkan para pendengar
seluruh rakyat Indonesia dan masyarakat Internasional, penyelesaian
persoalan Papua tetap paradoksal antara pidato-pidato dan kenyataan di
lapangan yang dihadapi dan dialami penduduk asli Papua.
Masalah Papua sulit diselesaikan karena pelanggaran HAM meningkat
tajam. Kemiskinan rakyat Papua bertambah di atas tanah yang kaya raya.
Peminggiran penduduk asli Papua semakin nyata. Membanjirnya penduduk
dari luar Papua ke Papua tanpa terkendali sulit dibendung. Pemusnahan
etnis Papua dalam berbagai bentuk sulit dihindari. Perampasan tanah
penduduk asli Papua atas nama pembangunan nasional sulit dibendung.
Kematian penduduk asli Papua hampir setiap hari merupakan fenomena baru.
Para dokter menolong persalinan ibu-ibu asli Papua dengan cara
beroperasi meningkat tajam dan merata di Papua. Ruang demokrasi dan
kebebasan bergerak dan berekspresi bagi orang asli Papua tertutup rapat.
Pemerintah Indonesia tidak melaksanakan dengan sungguh-sungguh dan
konsisten kebijakan Otsus yang merupakan keputusan politik. Pemerintah
juga tidak menyadari bahwa otsus adalah alat tawar-menawar dan jalan
penyelesaian menang-menang antara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia
tentang status politik Papua dalam wilayah Indonesia. UU Otsus dibuat
karena seluruh rakyat Papua menyatakan aspirasi politik untuk keluar
dari wilayah Indonesia, merdeka dan berdaulat penuh.
Pemerintah lupa bahwa UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001 penyelesaian
masalah Papua yang akomodatif dan berprospek damai. Otsus adalah jalan
kemenangan dan kemajuan yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia. Tapi,
sayang, Otonomi Khusus sebagai solusi politik yang berprospek damai dan
bermartabat itu dinyatakan gagal total dari berbagai pihak dan rakyat
Papua.
Yang tidak disadari pemerintah adalah Otonomi Khusus bukan merupakan
hadiah Pemerintah Indonesia kepada rakyat Papua. Pemerintah juga lupa,
Otsus bukan pemberian cuma-cuma dari pemerintah kepada rakyat Papua.
Otsus tidak lahir dengan tiba-tiba. Kebanyakan rakyat Indonesia dan
komunitas Internasional tidak tahu latar belakang dan fakta sejarah
lahirnya Otonomi Khusus bagi Papua.
Jadi, penyelesaian masalah Papua tidak bisa hanya dengan
pidato-pidato, janji-janji, tanpa aksi nyata. Pidato SBY menyebut
tentang solusi Papua sudah berulang kali, namun kenyataan di lapangan
sangat jauh dari apa yang diharapkan Presiden dalam pidato dan janjinya.
Permasalahan Papua sangat kompleks, maka tidak maka tepat
diselesaikan dengan sebuah unit seperti UP4B (Unit Percepatan
Pembangunan Papua dan Papua Barat).Pertanyaannya ialah apakah UP4B yang
dibuat secara sepihak tanpa melibatkan semua unsur masyarakat Papua itu
bisa menyelesaikan masalah Papua? Dan apakah solusi terbaru adalah
Otonomi Khusus Plus mampu menyelesaikan akar masalah Papua?.
Apakah dengan melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) membangun
14 ruas jalan di Papua dan Papua Barat dengan anggaran Rp 425 milyar,
yang dialokasikan dari Kementerian Pertahanan itu dapat menyelesaikan
masalah Papua? Ruas jalan yang dibangun TNI adalah Jalan
Kosanaweja-Trimuris-Sarmi Rp 25 miliar, Jalan Lagasari-Wapoga-Sumiangga
Rp 35 milyar, Jalan Botawa-Wapoga Rp 20 milyar, Jlan
Windesi-Yaur-Kwatisore Rp 35 milyar, Jalan Oksibil-Kawor-Woropko Rp 53
milyar, Jalan Suru-Suru-Obio-Dekai Rp 40 milyar, Jalan Mamugu-Batas Batu
Rp 40 milyar dan Jalan LingkarMarsinam Rp 17 milyar. (sumber: Koran
Tempo, 3/09/2013).
Pendekatan penyelesaian masalah Papua seperti UP4B dan Otonomi Khusus
Plus dan melibatkan aparat TNI hanya cara pemerintah untuk menghindar
dari tuntutan rakyat yang sesungguhnya. Pendekatan yang tidak menyentuh
substansi masalah Papua seperti ini, pemerintah terus mengkekalkan
dan memperpanjang penderitaan penduduk asli Papua.
Solusi masalah Papua yang lebih manusiawi, bermartabat dan
menyeluruh yang dituntut mayoritas rakyat Papua adalah dialog damai
yang jujur dan setara antara pemerintah Indonesia dan rakyat Papua tanpa
syarat yang dimediasi pihak ketiga yang netral.Jalan dialog damai ini
demi kemajuan dan kemuliaan bagi pemerintah Indonesia dan rakyat Papua.
Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua
Source: Tabloid Jubi
COMMENTS